Kita diera, dimana terjadi perubahan demikian pesat. 

  Era digital, menyumbangkan model peran kehidupan kota, dengan konsekuensi yang sangat luas, sehinga berdampak pada banyak sektor, khususnya bercocok tanam.

    Generasi muda, tidak lagi menaruh minat yang sama, dengan apa yang sudah di jalani kultur keluarga(agrobisnis).

    Mereka genenrasi z, lebih memilih untuk go urban atau merantau, jajal karir di kota, atau goal yang sangat khas, ” yang penting keluar kampung”.

   Polemik ini, bukan hanya terjadi di Indonesia, sebagian negara maju di Eropa dan Amerika, juga alami hal yang sama, bahkan negara China sudah alami krisis, generasi agro, jauh lebih awal.

   Pangan, sayuran yang dulunya sangat terjangkau, sekarang terasa sangat istimewa (harga)nya, hal ini tentunya, munculkan persoalan baru, baik saat ini, dan dikemudian hari.

   Hangzhou, Shanghai(china), kota modern, penuh hiruk pikuk kehidupan yang sangat sibuk, beradaptasi sangat mencolok dalam persoalan ini.

   Mereka, mayoritas memilih menghuni di pemukiman kluster2 apartemen, telah beradaptasi dengan kebutuhan mineral sayur2an mereka. 

    Dengan hadirkan kebun mini (tower hidroponik)  ditengah hunian mereka,  hal ini ternyata sangat solutif,  untuk keluarga kecil, yang memilih penghidupan di tengah kesibukan kota.

    Selain memangkas biaya , mereka juga otomatis dapat menikmati sayuran sehat dan segar dengan varian pilihan sendiri, dengan demikian, swasembada mineral, vitamin, serat terpenuhi oleh aktifitas2 ini.

    Kita( Indonesia) dengan segala kelebihan dan potensi alam di katulistiwa, akan jauh lebih optimal, bila suatu saat menerapkan pola hidup Urban.

    Indonesia dengan sebagian  wilayahnya hanya mengalami 2 musim, kaya akan curahan sinar matahari(uv growth). Hal demikian jauh lebih menguntungkan, dibandingkan negara yang mengalami (4)musim setahunnya. 

   Sehinga kondisi2 tertentu, mereka harus melakukan upaya lebih untuk bertanam. (uv growth)